Batam, 8 September 2025 – Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang selaku kuasa hukum termohon dalam perkara konsinyasi penggusuran dan perusakan kebun kelapa milik Erlangga Sinaga, menilai dalil-dalil permohonan Pemohon yang diajukan Badan Pengusahaan (BP) Batam tidak berdasar dan bertentangan dengan hukum.
Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Batam, kuasa hukum Termohon menegaskan bahwa status proyek Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) sudah tidak berlaku.
“Pencabutan status tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, yang menggantikan aturan sebelumnya dan mengeluarkan Rempang dari daftar PSN,” ujar Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Erwin Hariadi Simamora, Senin (8 September 2025).
Lebih lanjut, Erwin menyebut keputusan BP Batam yang menunjuk PT Makmur Elok Graha sebagai pengelola kawasan Rempang Eco City melalui SK Nomor 129/KA-A3/2023 cacat prosedur. Pada saat SK diterbitkan (23 Juni 2023), masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi publik. Selain itu, perusahaan juga disebut tidak memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Kuasa hukum Termohon juga menilai permohonan konsinyasi cacat hukum karena diajukan setelah pemohon terlebih dahulu melakukan penggusuran paksa pada 2 Mei 2025. Padahal, sesuai KEPMEN Nomor 43 Tahun 1977, setiap pengambilalihan tanah yang masih terdapat bangunan atau tanaman milik warga wajib disertai pembayaran ganti rugi dan relokasi penduduk sebelum lahan dimanfaatkan.
Kuasa hukum Termohon juga menguraikan sejumlah tindakan yang dinilai menunjukkan itikad tidak baik dari pemohon. Antara lain, pengukuran lahan secara paksa dengan melibatkan aparat TNI dan Polri, penempatan tim terpadu dalam jumlah besar di kampung-kampung, hingga berulangnya peristiwa kekerasan yang melibatkan pekerja PT. Makmur Elok Graha pada 2023 dan 2024.
“Puncaknya terjadi pada penggusuran paksa di Tanjung Banun, Galang, pada 2 Mei 2025,” tambah Erwin.
Dalil Pemohon juga dipatahkan dengan bukti bahwa termohon telah menguasai lahan sejak 2016, jauh sebelum BP Batam memperoleh hak pengelolaan melalui Keputusan Menteri ATR/BPN pada Maret 2023. Lahan tersebut, menurut kuasa hukum Termohon, merupakan sumber mata pencaharian utama yang tidak bisa begitu saja diserahkan.
Termohon Erlangga Sinaga juga menjelaskan bahwa dalam sosialisasi di Kantor Camat Galang, BP Batam tidak pernah menyampaikan secara terbuka bahwa lahan warga akan diserahkan kepada PT. Makmur Elok Graha. Warga pun tidak pernah menyetujui nilai ganti rugi yang ditawarkan.
Selain itu, Termohon menyoroti ketidakjelasan dasar hukum pembongkaran. “Saat saya minta tunjukkan surat perintah, petugas gabungan tidak bisa memperlihatkannya dan hanya beralasan bahwa pembongkaran dilakukan berdasarkan perintah bulanan,” ungkap Erlangga Sinaga.
Termohon juga menolak klaim pemohon yang menyebut kerugian hanya sebesar Rp 129 juta. Menurut perhitungan termohon, kerugian nyata dalam perkara konsinyasi ini mencapai Rp 53,04 miliar.
Atas dasar itu, termohon berharap majelis hakim menolak permohonan pemohon dan menyatakan penitipan uang ganti rugi atas nama Erlangga Sinaga tidak sah.
Add Comment