POSISI KASUS

Ratusan tenaga kerja kebersihan (cleaning service) di Kantor Gubernur Riau dan sekitarnya belum menerima gaji hingga saat ini. Asal muasal terjadinya permasalahan para pekerja dan perusahaan CV. Ratu adalah penunggakan gaji selama empat bulan yang dilakukan perusahaan, para pekerja berusaha untuk meminta konfirmasi kepada perusahaan yang memperkerjakan mereka. Adapun alasan oleh perusahaan adalah perusahaan belum menerima pembayaran oleh Pemerintah Provinsi Riau, tetapi pihak perusahaan tetap berupaya agar secepatnya membayar seluruh tunggakan gaji para pekerja sebesar Rp. 1.750.000,- per bulan. Tetapi dilain pihak Pemerintah Provinsi Riau menegaskan bahwa perusahaan CV. Ratu agar segera melunasi pembayaran gaji para pekerja, karna mengingat bahwa tidak ada alasan perusahaan untuk menunda kewajibannya. Hingga saat ini para pekerja sepakat untuk terpaksa melaporkan permasalahan ini ke Polda Riau.

PANDANGAN HUKUM

Adapun permasalahan antara para pekerja dengan CV. Ratu yang merupakan perusahaan outsourching yang mempekerjakan mereka adalah terkait tunggakan pembayaran gaji selama empat bulan. Hal ini bertentangan dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (atau UUK). Sebelumnya dapat kita lihat definisi pekerja yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UUK yaitu:

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Serta kaitannya dengan upah tertuang dalam ketentuan Pasal 88 ayat (1) UUK yaitu:

“Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”

Dengan demikan, pekerja dan upah adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lainnya, sehingga upah merupakan hak yang harus diperjuangkan selama menjalankan tugas sebagai pekerja.

Hal tersebut juga didukung ketentuan Pasal 93 ayat (1) UUK yang menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Di samping itu, terdapat juga pengecualian-pengecualian terhadap pekerja yang tidak melakukan pekerjaan namun disebabkan alasan-alasan yang terdapat dalam Pasal 93 ayat (2) UUK, seperti misalnya karena sakit, dll. Dengan demikian, apabila selama 4 bulan kebelangkang masih melaksanakan pekerjaan, maka para pekerja berhak atas upah yang belum dibayarkan tersebut.

Apabila perusahaan tidak memberikan upah, maka menurut ketentuan Pasal 95 ayat (2) UUK, Perusahaan tersebut dapat dikenakan denda.

Pasal 95 UUK

(1)   Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

(2)   Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

(3)   Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.

Lebih lanjut, dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (atau PP 8/1981) besarnya denda ditentukan sebagai berikut:

Apabila upah dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari seharusnya upah dibayar, maka upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) tiap hari keterlambatan. Sesudah hari kedelapan maka tambahan itu menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan syarat tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayar.

Apabila setelah lewat sebulan upah pekerja masih belum dibayar, maka sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 19 ayat (3) PP 8/1981, selain membayar tambahan tersebut, pengusaha juga berkewajiban membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.

Oleh karenanya, upah merupakan komponen yang penting dan pokok dalam hubungan industrial sehingga UUK memberikan perlindungan atas upah tersebut. Upaya yang dapat para pekerja lakukan dalam hal ini adalah menempuh melalui jalur atau cara-cara sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (atau UUPPHI).

Dasar perselisihan antara para pekerja dengan pengusaha adalah perselisihan hak. Yang dimaksud dengan perselisihan hak berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUPPHI adalah :

“Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.

Jalur atau cara yang para pekerja dapat tempuh berdasarkan ketentuan UUPPHI dalam upaya penyelesaian perselisihan mengenai hak atas upah antara lain:

  1. Jalur Bipartitadalah suatu perundingan antara pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, yang berupa perselisihan hak antara pekerja dengan pengusaha. Perundingan ini dilakukan berdasarkan Pasal 3 UUPPHI selama 30 hari. Apabila perundingan Bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur Tripartit yaitu dengan mendaftarkan ke Suku Dinas atau Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi di wilayah kabupaten atau kotamadya yang mewilayahi tempat kerja.
  2. Jalur Tripartitadalah merupakan suatu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha, dengan ditengahi oleh mediator yang berasal dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Penyelesaian perselisihan melalui jalur Tripartit ini diatur berdasarkan Pasal 4 UUPPHI. Apabila di dalam perundingan penyelesaian perselisihan Tripartit ini menemui titik temu, maka hasil kesepakatan dituangkan dalam suatu Perjanjian Bersama (Pasal 7 UU PPHI). Jika tidak terdapat titik temu, maka Mediator menuangkan hasil perundingan dalam suatu anjuran tertulis dan apabila salah satu pihak menolak anjuran tersebut, maka salah satu pihak dapat melakukan gugatan perselisihan pada Pengadilan Hubungan Industrial.
  3. Jalur Pengadilan Hubungan Industrialadalah jalur yang ditempuh oleh pekerja/pengusaha melalui mekanisme gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial yang mewilayahi tempat kerja dengan dasar gugatan Perselisihan Hak berupa upah pekerja yang tidak dibayarkan oleh perusahaan. Penyelesaian melalui jenis ini terdapat dalam Pasal 5 UU PPHI.

 

KESIMPULAN

Upah adalah hak dari seorang pekerja. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), mengatur mengenai perlindungan upah pekerja pada Bab X Bagian Kedua.

Berdasarkan pasal 95 ayat (2) UUK, pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sebesar persentase tertentu dari upah pekerja. Pasal 95 ayat (3) UUK selanjutnya mengatur bahwa pembayaran denda tersebut dilakukan pada pembayaran upah pekerja.

Persentase denda yang harus dibayarkan oleh pengusaha sehubungan dengan keterlambatan pembayaran upah ini diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah.

REKOMENDASI

Apabila para pekerja ingin memperkarakan masalah keterlambatan pembayaran ini, maka harus menggunakan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Prosedurnya adalah:

  1. Mengadakan perundingan bipartit (antara pekerja dan pengusaha) secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
  2. Apabila dalam waktu 30 hari setelah perundingan dimulai tidak tercapai kesepakatan, upaya selanjutnya adalah perundingan tripartit, yaitu dengan melibatkan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi setempat. Pada tahap ini, anda perlu mengajukan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan.
  3. Apabila perundingan tripartit tetap tidak menghasilkan kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan perselisihan ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial. (zsazsa, nola)